6/14/10

Social Capital Dalam Masyarakat Wetu Telu

Dalam beberapa tahun terakhir perjalanan kita sebagai bangsa, telah dikejutkan oleh begitu maraknya bencana mulai dari kecelakaan pesawat, kereta api hingga kecelakaan laut sebagai akibat dari lemahnya kebijakan transportasi kita dalam menjawab dinamika transportasi yang selalu menuntut perubahan dan perbaikan kearah terciptanya system transportasi yang nyaman dan mudah diakses oleh berbagai lapisan masyarakat, kemudian akhir-akhir ini melalui berbagai media, baik itu elektronik maupun cetak, indera kita telah dimanjakan oleh berbagai tontonan bencana alam seperti banjir hingga tanah longsor yang tidak sedikit berdampak kerugian terhadap materi dan nyawa. Bencana yang merupakan refleksi terhadap apa yang telah kita perbuat terhadap alam, berbagai program penanganan telah diwacanakan untuk mengatasi situasi seperti ini, tetapi di pihak lain pemerintah gagal menjalankan regulasi terhadap berbagai aktifitas eksploitasi alam.

Tidak hanya itu masalah yang terjadi dalam Negara ini tetapi berbagai bentuk friksi kepercayaan juga sangat menggemparkan bangsa ini, kemunculan berbagai macam aliran kepercayaan hingga perbedaan dalam menafsirkan agama seolah memberikan kita suatu gambaran tentang betapa sensitifnya berbicara tentang keyakinan, dan tidak terkecuali dengan keberadaan Wetu telu yang entah sebagai sebuah kebudayaan ataukah bentuk kepercayaan yang ada dipulau Lombok.
Berbagai penafsiran tentang wetu telu ini muncul, mulai dari penafsiran yang menganggap bahwa wetu telu merupakan praktek keagamaan dalam islam yang hanya menjalankan tiga waktu sholat saja yakni subuh, dzuhur dan isya (wikipedia.com), lahirnya praktek keagamaan seperti ini konon dikarenakan sang penyebar islam didaerah ini baru mengajarkan tiga jenis shalat tersebut dan belum sempat mengajarkan shalat secara keseluruhan dikarenakan sang penyebar islam meninggalkan pulau Lombok. Tapi, seiring pesatnya dakwah ke komunitas Wetu Telu, mereka sekarang sudah genap melaksanakan salat lima waktu sehari-semalam.
Versi lain menyebutkan bahwa wetu telu sebuah agama adaptasi antara islam dan kepercayaan animisme dan hindu bali yang dimana salah satu kepercayaan mereka adalah pemujaan terhadap kaum leluhur atau ancestor worship (sumber.wikipedia.com) , perbedaan sudut pandang yang sangat berbeda tersebut tentunya berimplikasi terhadap lahirnya wilayah abu-abu dalam meberikan tafsiran tentang keyakinan yang terkandung didalamnya, tetapi dalam artikel ini penulis tidak mau terjebak pada perbedaan perspektif dalam varian keyakinan tersebut, dimana ada perspektif lain yang harus kita gali dari keberadaan wetu telu ini yakni sebagai sebuah falsafah hidup tentang kearifan masyarakat lokal yang didalamnya terkandung social capital (modal social) yang sangat kuat.
World Bank mendefinisikan social capital sebagai “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Social capital menjadi semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (roles) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama. Jadi, elemen utama dalam social capital mencakup norms, reciprocity, trust, dan network.
Sedangkan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul Trust mendefinisikan social capital sebagai serangkaiaan nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah kenapa harus social capital?
Terciptanya social capital dalam masyarakat mempercepat upaya pembangunan dalam masyarakat itu sendiri
Berpengaruh terhadap berhasil dan tidaknya setiap program yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Social capital penting bagi keberhasilan pembangunan karena keberadaannya dapat memecahnya dilemmas of collective action, tragedy of the common. (Putnam,1993)

Social Capital Masyarakat Wetu Telu.
Unsur-unsur social capital yang terdapat dalam masyarakat wetu telu dapat dilihat dari adanya Kearifan lokal yang termanifestasikan dalam konsep kosmologi dan pemikiran tentang dunia dimana manusia harus melestarikan sumber daya alam sebagai bentuk ketergantungan kepada hidup.
Praktek-praktek kearifan lokal tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual seperti selametan subak yakni ritual meminta ijin memanfaatkan air sungai sebagai irigasi, membangar apabila akan bercocok tanam, sebagai bentuk permintaan ijin kepada mahluk lain yang dianggap menguasai tempatnya, upacara adat bonga padi (siklus padi) hingga adanya hiburan berupa presean (permainan rakyat yang dimainkan oleh dua orang yang saling pukul dengan menggunakan rotan serta penggunaan ende sebagai tameng yang terbuat dari kulit hewan) pada malam hari sebelum hari pelaksanaan maulid adat.
Pada tataran konsep tentang kehidupan atau sebagai falsafah hidup, pemaknaan terhadap wetu telu dianggap sebagai kepercayaan akan proses kehidupan yang terdiri dari lahir, tumbuh dan berkembang. Proses kehidupan ini telah memberikan kita sudut pandang yang makin luas tentang kekayaan akan falsafah hidup yang terdapat dalam wetu telu.
Unsur lain yang mengindikasikan adanya social capital dalam masyarakat wetu telu ialah terletak pada konsep kelembagaan adat yang terdiri dari pemangku sebagai pimpinan adat, perumbak yang berfungsi menjaga makam para leluhur dan hutan sekitar makam dan dewan tetua yang disebut toaq lokaq yang terdiri dari anggota-anggota tertua komunitas desa serta penghulu (kiai) yang bertugas membacakan doa dalam setiap ritual adat.
Sedangkan dalam tata pemerintahan disimbolkan dengan adanya tiga elemen masyarakat yang disertai dengan adanya pembagian peran-peran (roles) yang terdiri dari kepala desa, penghulu yang bertugas dalam keagamaan dan mangku/pemangku yang bertugas menangani adat istiadat. Dimana wetu telu sendiri berasal dari kata wet (wilayah hukum) tu bermakna tau (orang) dan telu (tiga) yang terwujud dalam perangkat desa tersebut.
Adanya kerjasama demi mencapai tujuan bersama dalam satu komunitas untuk mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama akan mereduksi kepentingan-kepentingan individual dan tunduk terhadap kepentingan-kepentingan komunitas, yang dalam trustnya Fukuyama diistilahkan dengan adanya titik temu etis normatif. Adanya social capital dalam masyarakat berupa aturan-aturan yang telah disepakati bersama memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengidentifikasi setiap transformasi social yang bisa mengancam eksistensi terhadap komunitas atau dengan meminjam istilahnya Putnam sebagai tragedy of the common yang disebabkan adanya free rider atau penumpang gelap dalam komunitas. Tragedy of the common ini jika diilustrasikan seperti kecelakaaan kapal laut yang memakan korban jiwa karena kehadiran penumpang gelap (tidak memiliki tiket) yang melebihi kapasitas muatan kapal.
Dalam arus globalisasi seperti pada saat ini, yang ditandai dengan adanya ekspansi modal kapitalis dalam jumlah besar telah berhasil menyingkirkan masyarakat-masyarakat kecil kedalam jurang ketertindasan, kapitalis telah berhasil merekonstruksi budaya masyarakat seperti yang terjadi pada masyarakat perkotaan yang terpenjara oleh tempat-tempat perbelanjaan mewah sebagai jeruji selnya, intervensi dalam berbagai macam kebijakan, hingga eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan alam yang tidak setara dengan kecepatan alam untuk melakukan rehabilitasi semakin menghadapkan masyarakat pada kenyataan hidup yang tidak bisa lagi menggantungkan hidupnya/memanfaatkan sumbangan alam terhadap kehidupan, realitas ini menciptakan stigma bagi dunia ketiga sebagai Negara yang oleh Andre Gunder Frank dalam teori ketergantungan klasik sebagai Negara satelit.
Akibat yang disebabkan oleh globalisasi dari system kapitalis pada dunia ketiga seperti yang terjadi diIndonesia bisa diminimalisir melalui pendekatan informal yakni melalui lembaga-lembaga adat, disinilah fase dimana social capital dalam masyarakat berperan penting dalam menjaga setiap ekosistem yang ada ditempatnya dari setiap upaya eksploitasi. Adanya aturan-aturan adat sebagai konsensus dalam satu komunitas seperti mensakralkan hutan, seperti yang terdapat dalam masyarakat wetu telu yang mengorganisasikan peran-peran (rules) kepada perumbak untuk menjaga makam leluhur dan hutan disekitarnya merupakan bentuk penjagaan terhadap kelestarian lingkungan, adanya mekanisme pembagian peran dalam pengelolaan lingkungan ini terlebih jika dilakukan oleh lembaga -lembaga informal merupakan kearifan lokal yang justru lebih efektif dan sebagai jawaban atas kegagalan lembaga formal menerapkan mekanisme yang dimilikinya dalam mengelola lingkungan, serta wujud penjagaan dari intervensi free rider ( kaum kapitalis ) dalam mengeksploitasi alam.
Begitu pentingnya social capital dalam masyarakat hendaknya dapat memberikan kita perspektif yang utuh tentang keanekaragaman masyarakat lokal, sehingga program-program pembangunan yang dimaksudkan untuk merubah pola perilaku masyarakat yang sudah terlembaga, harus dilakukan secara hati-hati dengan melakukan perubahan paradigma dalam menyusun setiap program pembangunan agar tidak merusak potensi kelembagaan lokal yang sudah ada.
Penulis : Iwan Tanjung Sutarna

No comments: