8/28/09

KULIAH KERJA LAPANGAN KOMUNIKASI 2009

JAKARTA – BANDUNG TOUR PACKAGE
KULIAH KERJA LAPANGAN 2009
KOMUNIKASI UMY
(KORPS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI UMY)

12-16 Oktober 2009

Lokasi Kunjugan Studi
- TransCorporation (TransTV dan TV 7)
- Jak-TV (My City, My Tv)*
- Serikat Pekerja Surat kabar (SPS)
- Dewan Pers Indonesia
- Matari Advertising
- Fortune Advertising
- PT. Astra Int. Tbk
- Java Musikindo*
- Program Talk Show KICK ANDY, Studio MetroTV
*dalam konfirmasi

Lokasi Refreshing/Wisata
- Tangkuban Perahu
- Kawah Putih
- Ciwidei
- Cihampelas / Pasar Baru
-
Rundown Program
► 12 Okt   : Rombongan berangkat menuju Jakarta pk. 16.00 (Snack & Dinner)
► 13 Okt : Tiba di Jakarta dan langsung check in hotel (drop barang, istirahat, mandi dan sarapan di hotel).
07.30 : Kunjungan bis 1 dan 2 ke TransCorp (pagi)
             Makan Siang (box) dan lanjut ke SPS dan Dewan Pers (siang)
             Kunjungan berikutnya ke Jak-TV (sore)
             Kembali ke hotel, makan malam (lokal restoran)
             Free Pregram
► 14 Okt :
             Sarapan (hotel) dan check out
             07.30 : Kunjungan Bis 1 : Fortune Adv (pagi)
             Kunjungan Bis 2 : Matari Adv (pagi)
             Makan Siang (box)
             Rombongan 1 dan 2 bertemu di PT. Astra Int/Java Musikindo (siang)
             Menuju Studio MetroTV (nonton KICK ANDY)
             Makan malam (lokal restoran)
             Langsung bertolak ke Bandung dan check in di Wisma Post Lembang
             Free Program
► 15 Okt :
            Sarapan di wisma
            07.30 : Check out hotel
            Tangkuban Perahu
            Kawah Putih
            Ciwidei
            Makan Siang (box)
            Pasar Baru / Cihampelas
            Makam malam (lokal restoran)
            Berangkat menuju Jogja
► 16 Okt :
            Pagi pukul 10.00 diperkirakan sudah tiba di Jogja

Fasilitas
- Kunjungan Studi (Aplikasi ilmu dunia kerja komunikasi)
- Kaos Peserta
- Sertifikat
- 2 unit bus pariwisata White Shark (AC, VCD, Tape, Rec. Seat), @ 50 kursi
- Akomodasi dan penginapan
   Hotel Mega Matra*** (Matraman, Jakarta)
   AC, kamar mandi dalam, 3 orang/kamar, TV
   Wisma Post (Lembang)
   AC, kamar mandi dalam, 4 orang/kamar
- Konsumsi 10x dan Snack
- Mineral Water selama Tour Program
- Asuransi
- Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
- 2 orang Tour Guide
- Free entrance objek wisata
- Operasional (Tip Driver +Co, Service Crew, Parkir, dll)

Harga Paket Tour : RP.660.000,- / ORANG
(selama kegiatan tidak ada pungutan biaya tambahan...DIJAMIN....!!!)

biro trevel : TURINDO Tour and Travel
interaktif   : Facebook Group Communication'07
CP              : 
Informasi : Alan (081917381798)
                    Eva   (085729251729)
Pembayaran : Yulista (081227403010)
                          nindya (085643357775)

Media Literacy, Upaya Melawan Kapitalisme Media dan Pencerdasan Khalayak

Globalisasi Dan Media
Seorang pemuda dengan bangganya berjalan memasuki mall dengan balutan fashion yang apik. T-shirt Tommy Hilfiger dan jeans Levis 501 membungkus badannya, serta sepotong burger Mc Donald ditangannya. Begitulah kiranya gambaran life style yang memang berlaku pada saat ini. Barangkali jika ditanya pada pemuda itu, maka modernisasi adalah jawabannya. Sudah barang tentu, modernisasi adalah salah satu produk dari globalisasi.
Saat ini, siapa sih yang tidak kenal dengan istilah globalisasi. Kata globalisasi, pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi. Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri Perang Dingin memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni dari globalisasi. Dengan kata lain, globalisasi dapat didefinisikan sebagai produk perubahan tatanan ekonomi dan politik dimana teknologi dan modal telah menyatu dalam imperialisme multi wajah (Silverstone dalam Devereux,2003:30).
Namun ada pula yang menyatakan bahwa globalisasi adalah alat pemersatu dunia, seperti yang dikatakan oleh Robertson, bahwa globalisasi adalah peringkasan dunia dan intensifikasi atas kesadaran dunia sebagai sebuah kesatuan (Robertston dalam Devereux,2003:29).
Bagaimana dengan ihwal media dalam tataran globalisasi? Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi yang bisa dikatakan merupakan produk dari globalisasi sangat mempengaruhi banyak hal dalam ranah media. Teknologi yang berkembang sangat pesat memacu industri media untuk terus berinovasi selaras dengan perkembangan media. Saat ini, Information and Communication Technology (ICT) adalah pijakan para pengelola media dalam menyelaraskan diri dengan kemajuan teknologi.
Namun, dari sekian banyak jenis media yang sering kita jumpai, televisi tetap menjadi primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, terdapat 105.5 juta televisi—99.9% adalah televisi berwarna. Di setiap rumahtangga Amerika Serikat, televisi dinyalakan rata-rata selama 7.5 jam. Rata-rata laki-laki menonton televisi 4 jam 11 menit sehari, sedangkan perempuan menghabiskan waktu sedikit lebih banyak yaitu 4 jam 46 menit. Remaja rata-rata menonton televisi selama 3 jam 4 menit sehari, sementara anak-anak menonton rata-rata 3 jam 7 menit sehari. Sebuah keluarga terdiri dari tiga orang atau lebih menonton televisi setidaknya 60 jam per minggu (Baran, 2003:245)
Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa televisi merupakan benda yang bisa ditemukan nyaris di setiap rumahtangga. Rumah sempit berdesakan sekalipun masih menyisakan ruang untuk televisi. Dalam aspek penetrasi media, televisi mencapai angka rata-rata 90% atau lebih di setiap kelas. Anak-anak menonton televisi rata-rata 30-35 jam per minggu, atau 1560-1820 jam per tahun—melebihi jumlah jam belajar yang mencapai angka tak lebih dari 1100 jam per tahun (Guntarto, 2003)
Salah satu hal yang ditakutkan dari dampak globalisai terhadap media adalah akan adanya penyeragaman (homogensasi) isi dan format media. Dan benar saja, hal itu sepertinya sudah mulai terlihat di Indonesia. Saat ini, stasiun TV swasta belomba-lomba merebut hati pemirsa dengan menyajikan tayangan yang hampir sama. Fenomena ini bisa diamati ketika jam tayang utama (prime time) dipenuhi tayangan sinetron. Juga acara pencarian bakat instant yang ramai menghiasi layar kaca. Dalam tayangan tersebut, format acara yang disajikan jelas serupa. Penampilan calon bintang ditentukan oleh tingkat perolehan sms (dukungan) dari para pemirsa. Serta masih banyak contoh homogenisasi lainnya
Fenomena homogenisasi diatas adalah sebuah produk globalisasi media kapitalis yang cenderung mengarah pada konsentrasi kepemilikan media oleh segelintir orang saja. Tentunya konsep ini hanya bisa disandang oleh para konglomerat media dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Sekarang, yang menjadi inti masalahnya adalah ketika isi tayangan media, khususnya di Indonesia telah mengalami disorientasi dari apa yang telah diamanatkan dalam undang-undang dan sesuai dengan budaya ketimuran yang kita anut, karena berpedoman hanya pada azas ”atas nama pasar”. Bukankah hal ini nantinya akan menjurus pada pembodohan pada khalayak, khususnya anak-anak? Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan sex, mistis dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antar dunia anak-anak dan orang dewasa.
Padahal dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 pasal 3 disebutkan bahwa ” Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”.
Jika merujuk pada tayangan-tayangan televisi seperti yang disebutkan diatas, fungsi penyiaran seperti yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut belum sepenuhnya diterapkan oleh lembaga penyiaran seperti televisi.

Media Literacy, Mencardaskan Khalayak
Jika dalam tulisan-tulisan sebelumnya banya diuraikan dampak medai kapada khalayak. Kali ini gilian solusi yang berbicara. Solusi seperti apa yang dibutuhkan untuk menangkis segala macam efek media yang begitu besar tersebut>
Sebuah agenda yang sedang booming saat ini dalam rangka mencerdaskan khalayak dan menangkis dampak buruk televisi adalah media literacy (melek media). Media literacy saat ini merupakan cara paling efektif sebagai pengawal masyarakat dalam mengkonsumsi media.
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan media literacy dan bagaimana pola penerapannya? Media literacy muncul di Inggris pada awal tahun 1930-an akibat dari keprihatinan sejumlah aktifis media atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh media. Media literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah melek media. James Potter mengatakan bahwa media literacy adalah sebuah perspektif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.
Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun menghibur. Begitu banyak definisi tentang media literacy, namun bisa disimpulkan bahwa intinya adalah mendidik masyarakat agar mampu menginterpretasi pesan yang disampaikan media secara benar dan bijak. Kampanye media literacy lebih ditekankan pada pemahaman kalayak (www.kidia.org)
Sebagai ilustrasi, di Australia pendidikan media literacy telah diperkenalkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional. The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait secara periodik.
Bagaimana dengan kampanye melek media di Indonesia? Data mencatat bahwa kampanye melek media telah dimulai pada awal tahun 80-an ketika muncul kesadaran dari banyak pihak akan dampak media terhadap pergeseran nilai-nlai sosial. Sampai saat ini, banyak yayasan non-profit yang bergerak dibidang edukasi media, diantaranya adalak KIDIA yang lebih berorientasi pada perlindungan anak terhadap efek media.
Sadar akan pentingnya media literacy berarti mampu menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi sesuai dengan usia dan kebutuhannya, dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya, dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi, serta dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.
Berbagai kegiatan untuk menyosialisasikan bahaya televisi juga sudah sering dilakukan. Puncaknya yaitu pada tahun 2007, para aktifis media literacy di Indonesia sepakat menetapkan tanggal 22 Juli sebagai hari tanpa TV.
Jenis pemahaman seperti diataslah yang merupakan goal utama dari agenda kampanye media literacy. Karena untuk saat ini, berharap pada stasiun TV untuk memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustail. Ada masalah rating, bisnis dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak-banyaknya (inti dari globalisasi media kapitalis). Maka pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilam media literacy atau melek media.
Dengan adanya pemahaman yang baik dari semua pihak sebagai khalayak media, dampak negatif yang tidak kita inginkan bisa teratasi. Media literacy dapat kita jadikan tameng terhadap terpaan era globalisasi yang seolah tiada batas ini, khususnya dalam kaitannya dengan arus informasi.
Muhammad Sahlan (20070530049)