6/14/10

Film Sex Bumbu Horor, Itu Yang Benar...!!

Kalau dulu kita mengenal Suzzana karena rambut panjang terurai dan matanya yang melotot tajam ketika memainkan peran hantu, maka sekarang kita lebih mengenal Dewi Persik dalam film hantu sebagai hantu seksi yang penuh gairah dan birahi. Dalam hampir setiap film hantunya, Dewi Persik secara sangat berani mempertontonkan hampir semua bagian tubuhnya. Bahkan dalam sebuah filmnya, Dewi dengan ekstrim beradegan tanpa penutup bagian dada sedang beraksi dengan seorang pria yang menikmati tubuhnya diatas ranjang. Hal serupa juga terjadi pada Julia Perez, artis film hantu lainnya.
Dua nama diatas bisa dikatakan sebagai ikon artis binal yang kerap menjadi langganan para sutradara film horor. Contoh lain yang bisa saya berikan adalah para wanita dalam film Hantu Binal Jembatan Semanggi. (silahkan di klik) Sehingga, tidak heran saat ini bermunculan artis film horor (saya lebih senang menyebutnya : artis film esek-esek) bak cendawan dimusim hujan
Dan fakta yang ada saat ini adalah, main film horor adalah jalan paling mudah bagi seseorang, khususnya wanita untuk memulai karir di dunia selebritas Indonesia. Tentu dengan syarat harus berani mempertontonkan kemolekan tubuh.


Disini kita bisa melihat bahwa melalui jalan cerita yang sedemikian rupa dan bentuk adegan-adeagn panas yang mengeksploitasi tubuh perempuan, merupakan cerminan dari marginalisasi kaum perempuan. Sekali lagi, hal ini bisa terjadi secara terus menerus dan berkelanjutan sampai saat ini, tentu tak lepas dari faktor kultur masyarakat Indonesia yang sejak dari dulu telah men-stereotype-kan wanita sedemikian rupa.
Sterotype msayarakat Indonesia tentang perempuan yang terbangun sejak dulu adalah memang tetap seperti itu. Artinya, perempuan sejak dari dulu telah dilabeli dengan status seperti harus tunduk pada suami, hanya bekerja di dapur, lemah dan lainnya.
Apa yang kita pikirkan ketika membandingkan perkembangan film hantu Indonesia dari zaman ke zaman? Tentu telah banyak terjadi perubahan baik dari segi teknik dan cerita. Peningkatan kualitas teknik dalam film hantu di Indonesia bisa dilihat dari film Jaelangkung karaya Rizal Mantovani, yang menggabungkan unsur sinematografi dan tata efek yang cukup baik. Kemudian setting cerita, kalau dulu biasanya film hantu/horor berlatarkan suasana pedesaan yang penuh dengan pepohonan lebat dan menyeramkan, maka sekarang terjadi transformasi menuju setting yang lebih urban. Hantu muncul dalam kehidupan perkotaan yang mewakila beberapa icon masyarakat. Seperti rumah sakit dan kos-kosan anak muda.
Sosok hantu yang muncul dalam setiap film nyatanya juga mengalami perubahan bentuk. Kalau dulu Suzzana identik dengan bentuk makhluk halus yang disadur dari legenda-legenda rakyat jelata, maka saat ini film-film hantu yang ada lebih mengarah pada hantu daerah urban yang mati pada sebuah tempat dan bangkit menuntut balas. Serangan psikologis yang bersifat menakut-nakuti juga lebih dramatis melalui efek-efek jeritan, musik yang mengagetkan menjadi tambahan dalam film horor masa kini.
Hanya saja, isu sentral yang masih dapat kita temui dengan mudah adalah seperti yang telah kita bahas di atas, yakni maginalitas perempuan di bawah dominasi kekuasaan laki-laki. Lagi-lagi, kaum perempuan harus menjadi “korban” atas apa yang disajikan film-film horor kita. Dalam artian, secara sadar atau tidak sadar, eksploitasi gender yang mengatasnamakan totalitas peran dan akting masih terjadi bahkan sudah pada taraf yang bisa dikategorikan menjurus ke arah pornografi.
Lihat saja beberapa tayangan film horor yang mempertontonlan lekuk tubuh perempuan secara vulgar dan hampir telanjang bulat. Bahkan yang terbaru, film Suster Keramas yang menggunakan bintang film porno Jepang sebagai sosok hantu perempuannya dicekal peredarannya, atas alasan pornografi.
Kaum lelaki dalam film diposisikan sebagai penikmat atas apa yang disajikan oleh perempuan. Karena hanya dengan cara seperti itulah sosok hantu perempuan mampu melakukan ajang balas dendam terhadap laki-laki yang dulu pernah menyiksanya.
Demikianlah bahwa film dan representasi adalah dua hal yang bermuara pada wacana-wacana sosial yang berkembang di masyarakat. Cerita tentang perfilman horor/mistik/hantu di Indonesia yang sedemikian rupa tidak bisa serta merta dipisahkan dari aspek kultur dan kondisi sosial masyarakat Indonesia sendiri. Mungkin, selama wacana masyarakat tentang kultur-kultur yang berbau mistik/klenik masih kuat, selama itulah film horor akan selalu menyajikan adegan-adegan menakut-nakuti. Tentunya dengan eksplorasi tubuh perempuan sebagai jualan utamanya.

No comments: