5/4/10

Edukasi Media, Cara Melawan Tayangan Tidak Bermutu

Untuk pertama kalinya saya menyaksikan sebuah tayangan reality show, sekarang sudah ganti nama menjadi drama reality Masihkah Kau Mencintaiku yang tayang di RCTI. Tentu ini bukan saya lakukan dengan sengaja. Yang membuat saya tidak memindahkan channel TV adalah begitu hebatnya orang-orang yang ada dan terlibat didalamnya bersandiwara sedemikan rupa, seolah apa yang mereka ributkan adalah kejadian nyata yang memang mereka alami.
Tayangan ini adalah tayangan yang mempertemukan antara keluarga yang sedang terlibat perselisihan hebat. Baik itu dalam hal perebutan anak, selingkuh, harta, dan masalah rumah tangga lainnya berikut tetek bengeknya. Kemudian disana pihak yang berselisih dikonfrontir oleh dua orang host. Dalam proses konfrontasi tersebut, akan muncul tim penasehat yang seolah tampil sebagai orang bijak yang mampu memberi solusi terhadap keluarga yang berselisih.
Saya masih bingung atas dasar apa tayangan sejenis ini bisa muncul ke ruang publik (TV)? Jika jawabannya adalah untuk memberikan contoh solusi penyelesaian masalah keluarga, saya rasa itu bukan jawaban yang tepat. Terlebih jika hanya untuk hiburan semata.
Rating, sebagai ideologi yang dianut oleh industri pertelevisian kita saat ini adalah alasan utamanya. Karakter khalayak Indonesia yang lebih suka akan sajian tayangan yang mengumbar tangis dan air mata, menjadikan tayangan semacam ini laku dipasaran dan mendapat rating tinggi.
Kisah-kisah yang seharusnya hanya menjadi konsumsi pribadi, lebih privatnya dalam keluarga, saat ini telah meluas menjadi konsumsi publik secara luas. Ruang publik seharusnya diisi dengan tayangan-tayangan yang bermanfaat sesuai dengan amanat Undang-undang Penyiaran. Yakni mengandung unsur informasi, edukasi dan hiburan.
Tapi tetap saja, regulasi hanyalah regulasi. Rating dan kue iklanlah yang menjadi jawaban ketika kita mengatakan bahwa tayangan ini itu tidak baik, tidak edukatif dan sebagainya. Unsur ekonomi politik media tetap menjadi dominasi untuk menentukan apa yang akan tayang di layar kaca khalayak.
Komisi Peyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang fungsinya menjadi regulator dan pelindung khalayak dari dampak-dampak negatif penyiaran seolah kehilangan tajinya ketika dihadapkan pada apa yang disebut kapital. Sejauh ini, hanya warning yang mampu dikeluarkan KPI terkait tayangan-tayangan seperti itu, tidak lebih.
Berharap pada perusahaan media terkait, untuk mampu memberikan edukasi yang maksimal demi terciptanya tayangan yang bermutu dan mampu menunjang pencerdasan khalayak, mungkin merupakan suatu hal yang mustahil. Karena kita akan dihadapkan dengan sederet fakta tentang modal, persaingan, kue iklan dan rating.
Yang bisa dan mungkin kita lakukan adalah edukasi media (media literacy) pada khalayak. Memberikan penyadaran kepada khalayak tentang mana yang baik dan mana yang buruk mengenai media, kiranya menjadi metode ampuh untuk mereduksi dampak-dampak negatif dari tayangan-tayangan tersebut.
Dengan adanya kesadaran dan pemahaman yang baik pada khalayak tentang media, khsusnya tayangan televisi, maka dengan sendirinya masyarakat akan mampu menentukan sikap terhadap bentuk-bentuk tayangan yang tidak bermutu. Yang kemudian, tayangan-tayangan semacam itu akan hilang perlahan seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat.

No comments: