5/24/10

Sabda Rating Yang Tak Terbantahkan

“Sebuah Drama Reality, pencarian yang akan mempertemukan client dengan orang yang sangat ingin ditemuinya (target) karena sebuah alas an khusus, dimana client tidak tahu keberadaan sang target sekarang (lost contact).
Target bisa merupakan seseorang dari masa lalu client (mantan pacar, teman kecil, sahabat, kerabat, dll) Atau seseorang yang pernah ditemui client tapi tidak tahu siapa dan dimana target berada. Host akan melakukan pencarian berdasarkan petunjuk yang dimiliki oleh client, seperti foto, surat, alamat terakhir, dll”
Setelah berhasil melakukan pencarian, host kemudian akan mempertemukan client dengan sang target. Konflik akan terjadi pada saat proses pertemuan client dengan target. Program akan diperkuat dengan testimony dari client, target, dan bahkan host. Melalui testimony, penonton dapat melihat dan merasakan apa yang....
sedang dirasakan oleh client, target, dan host”.
Begitulah promo siaran yang tertulis di website Trans TV, sebuah stasiun televisi swasta nasional terkait acara Termehek Mehek yang menjadi salah satu acara andalan TV tersebut. Menyusul kesuksesan Termehek Mehek, kemudian muncul program acara Orang Ketiga, masih dari stasiun TV yang sama. Format acara yang digunakan juga hampir sama, yakni penelusuran tim Trans TV dalam ranah privasi seseorang (istilah Trans TV, klien)
Urusan privasi seseorang rupanya telah menjadi lahan bisnis yang begitu menggiurkan. Bagaimana tidak, tayangan televisi dengan format acara yang berbasis pada ranah privasi seseorang semakin menjamur beberapa tahun belakangan ini.
Namun, acara yang disebutkan diatas buknlah format program acara baru yang ada di televisi. Acara Katakan Cinta yang tayang di RCTI pada tahun 2 bisa dikatakan sebagai program reality show pertama di TV. Dalam acara ini, setiap orang, khususya laki-laki dan anak muda memiliki kesempatan untuk mengatakan rasa sayangnya terhadap lawan jenis melalui bantuan media. Dengan asumsi bahwa seorang pria yang mengatakan cinta kepada lawan jenisnya melalui tayangan televisi yang disaksikan oleh jutaan pemirsa TV adalah orang yang memiliki jiwa dam mental pemberani sehingga cintanya layak diterima oleh sang wanita. Alhasil, acara ini mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat (melihat pada angka rating).
Menyusul kemudian, muncul tayangan-tayangan sejenis dengan konsep yang lebih bervariatif. Semacam Playboy Kabel, CLBK, Cinta Monyet, Cari Jodoh (SCTV). Namun masih dalam satu garis linier yang mengeskploitasi ranah privasi seseorang........
Dalam perkembangannya, format reality show mulai mangalami sedikit pengembangan. Unsur klenik dan mistis mulai menjadi tren. Tayangan yang berusaha mengomunikasikan dua makhluk berbeda alam, manusia dan jin ramai menghiasi layar kaca Indonesia. Sebut saja Uka-Uka (TPI), Dunia Lain (Trans TV) dan Pemburu Hantu (Lativi) cukup mendapat tempat di daftar rating televisi, tetapi tidak bertahan lama.
Setelah urusan hantu dan tetek bengeknya redup, yang kemudiam tenar adalah isu terkait dengan kemanusiaan dan wacana sosial. Tayangan reality show yang ada berkembang lagi pada bagian yang mereka (pihak televisi) sebut dengan istilah kemanusiaan dan solidaritas. RCTI hadir dengan acara Uang Kaget, Bedah Rumah, Tolong, dsb. Kemudian Trans TV juga hadir dengan acaranya dangan judul Andai Aku Menjadi.
Tidak berhenti disini, urusan media dalam mengekspos privasi bergerak terus kearah yang lebih dalam dari hal yang siatnya personal, yakni keluarga. Simak saja Orang Ketiga (Trans TV) atau Masihkah Kau Mencintaku (RCTI) yang secara vulgar dan terang-terangan berani menjadi (seolah) pengadil dari masalah yang dialami oleh sebuah keluarga.
Menjamurnya beragam jenis acara yang sebenarnya menggunakan konsep serupa ini tentunya akan dijawab oleh pihak televisi dengan alasan permintaan pasar (khalayak). Namun, apakah itu semua murni atas dasar minat dan apresiasi masyarakat? Kajian keilmuan tentu meyakini bahwa ada beberapa faktor yang berdiri menopang eksistensi program semacam itu.
Mungkin ada baiknya kita merunut sejarah industrialisasi televisi yang terjadi dalam dua dekade belakangan ini.
Sejak kemunculan Rajawali Citra Televisi (RCTI) sebagai stasiun televisi swasta pertama di Indonesia pada tahun 1988, orientasi dunia penyiaran Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan yang mencolok terutama terlihat pada konten siaran yang ada. Dimana, RCTI hadir dengan membawa konsep yang berbeda dari konsep lama yang diusung TVRI, sebagai satu-satunya lembaga penyiaran publik (televisi) pada waktu itu.
Format TVRI yang bergaya sangat pemerintah (hirarkis dan bersemangat pembangunan) dengan segera mendapatkan saingan dari RCTI yang lebih menyajikan keberagaman konten. Tidak melulu tentang keberhasilan pemerintah dan penyeragaman pembangunan.
Hal ini tidak terlepas dari rendahnya mutu penyiaran yang ada di TVRI yang dikarenakan oleh upaya penyeragaman ideologi Orde Baru. Format siaran TVRI didominasi oleh informasi akan keberhasilan pembangunan yang digambarkan melalui tayangan gunting pita dan peresmian proyek-proyek pembangunan pemerintah (Erika dan Iqbal, 2003 : 6). Dari situlah, kejenuhan masyarakat akan tayangan TVRI mampu dibaca oleh Bimantara Group sebagai celah untuk berbisnis yang kemudian berujung pada lahirnya RCTI sebagai pesaing dari TVRI.
Akhirnya, semangat televisi di Indonesia yang awalnya sebagai wujud dari lembaga sosial, secaratifak langsung dibelokkan oleh RCTI menjadi sebuah institusi bisnis yang mampu mendatangkan limpahan uang. Pasca keberhasilan RCTI dalam merebut tempat dihati khalayak, secara berturut-turut lahir sejumlah stasiun televisi swasta.
RCTI dengan kemampuannya membaca pasar, telah mengubah paham TVRI yang mengasumsikan bahwa khalayak itu adalah serangam menjadi khalayak yang tersegmentasi berdasarkan kelas-kelas tertentu. Dengan adanya pengkategorian khalayak, acara yang disajikan RCTI menjadi lebih beragam dan tersegmentasi. Hal inilah yang kemudian mampu mendulang sukses, yang kemudian jejaknya diikuti dengan munculnya berbagai stasiun televisi swasta lainnya. sampai har ini, telah berdiri sebelas stasiun televisi swasta berskala nasional.
Seiring perkembangannya, persaingan yang terjadi dalam industri televisi adalah rebutan kue iklan. Rating seolah telah menjadi titah dewa yang turun dari langit untuk segera ditaati dan ditindaklanjuti melalui jelmaan program acara. Sedikit saja ingkar pada titah rating, stasiun televisi tersebut akan mendapatkan bencana berupa kecilnya pemasukan iklan karena direbut oleh program dari televisi lain.
Atas dasar itulah, para pemikir yang ada dibalik program-program TV harus berfikir ekstra cepat untuk bisa meningktkan serta mempertahankan rating acara mereka untuk tetap menjaga porsi kue iklan. Tak tanggung-tanggung, cara frontal sering kali dilakukan, bahkan telah menjadi budaya saat ini. Mulai dari mengadopsi tayangan serupa dari TV sebelah sampai pada copy cat format acara. Sebab jika tidak mengikuti alur pasar, acara itu akan ditinggalkan oleh penontonnya. Raitng telah membuat industri televisi masuk ke dalam alur spiral yang semakin menukik tajam kebawah. Hal ini yang disebut oleh Viktor Menayang, mantan Ketua KPI sebagai foolis of perish, (Erika dan Iqbal, 2003 : 26).
Perspektif rating ini menjadi sebuah pola pikir utama yang sekan memaksa semua orang untuk menggunakannya. Adagium “seruling cukong berdasar rating menentukan lagu yang dimainkan” telah menembussemua tngkat pengambilan keputusan dan seringkali mengabaikan kualitas, termasuk estetika, sosial dan psikologis penonton. (Garin Nugroho dalam Erika dan Iqbal, 2003 : 22-23).
Fakta inilah yang bisa kita cermati sebagai sebuah kenyataan yang terjadi pada program TV, termasuk didalamnya reality show. Orientasi privasi dan olok-olok pada strata masyarakat bawah yang terekspose secara massal melalui tayangan reality show setelah mengesampingkan aspek kualitas, estetika, sosial dan psikologis tersebut. Hal ini semata-mata dilakukan hanya untuk menjaga ritme pemasang iklan yang masih mengacu pada ideologi rating. Meskipun dalam perkembangannya, masih terjadi perdebatan antara broadcaster dan advertiser mengenai ideologi rating sebagai penentu kue iklan.

Kemudian, ketika kita berbicara tentang media massa sebagai tempat berlangsungnya proses konstruksi makna. Maka yang kita dapatkan adalah adanya upaya konstruksi nilai dan budaya yang dilakukan oleh para penguasa yang berada dibalik produksi tayangan-tayangan tersebut.
Ada dua garis besar yang dapat kita lihat sebagai grand tema dari jenis acara-acara reality show di Indonesia, yakni umbar privasi dan cerita tentang si kaya dan si miskin. Meskipun pada dasarnya, hampir semua tayangan semacam ini adalah adopsi dari tayangan yang sudah ada sebelumnya di luar negeri sana.
Sebelum membahas tentang sesuatu yang terkonstruksi melalui media (tayangan) semacam reality show, ada baiknya untuk melihat aspek-aspek produksi dan presentasi dari tayangan-tayangan media secara general.
Yang pertama adalah repetisi, yakni pengulangan yang dilakukan secara intens oleh institusi media. Kita dapat dengan mudah menyaksikan banyaknya tayangan yang pada dasarnya memiliki pola produksi dan format acara yang sama. Tindakan media yang terstruktur dan berlangsung secara kontinu ini mampu membentuk pandangan dalam benak audiens bahwa apa yang mereka saksikan dilayar kaca mereka adalah suatu hal yang memang benar terjadi. Itulah salah satu tujuan dari proses produksi media yang cenderung mengarah pada konstruksi.
Repetisi sendiri tidak terlepas dari ideologi bisnis para pemilik media. Semua operator/pelaku media ingin menghasilkan uang, menarik audiens, memperbaiki peringkat mereka (dalam hal ini, terkait dengan rating), serta apapun yang terbaik bagi media yang bersangkutan (Burton, 2008 : 95).
Fakta jelas tentang kebenaran dari penjelasan diatas dapat kita saksikan dalam (salah satunya) tayangan reality show. Dari puluhan judul acara reality show yang menghiasi layar kaca Indonesia setiap harinya, dapat kita generalisir menjadi tiga garis besar, yakni cinta, privasi dan cerita tentang si kaya-si miskin.
Dengan intensitas yang tinggi dari tayangan-tayangan tersebut, masyarakat digiring menuju sebuah konsepsi yang telah dijelaskan dalam repetisi itu sendiri, yakni bahwa apa yang mereka saksikan adalah benar terjadi.
Kedua adalah hal yang berkaitan dengan representasi dari unsur-unsur dominan dari tayangan media. Representasi adalah hal yang juga tidak bisa dipisahkan dari setiap usur media. Dimana yang ada adalah melulu tentang representasi golongan mayoritas dan golongan minoritas.
Representasi sendiri akan mengarah pada stereotip. Yakni pendefinisian tertentu terhadap unsur-unsur yang direpresentasikan dalam tayangan media itu. Stereotip itu sendiri cenderung bermakna negatif (Burton, 2008 : 115). Seperti ketika kita mengamati secara keseluruhan, tayangan reality show sekiranya telah mampu mengonstruksi sebuah makna yang intinya kira-kira seperti ini : si miskin adalah orang yang akan terselamatkan kehidupannya ketika si kaya datang memberikan bantuan. Tanpa si kaya, si miskin tidak akan mampu berbuat apa-apa.
Cerita berikutnya adalah tentang konstruksi. Media dengan segala kekuatan yang dimilikinya mampu dengan mudah untuk mengonstruksi sebuah makna. Dengan model tayangan yang bersifat intens dan hampir serupa antara media satu dan yang lainnya, sebuah konstruksi makna tentang nilai akan terus terbentuk dibawah kendali media.
Hal ini rasanya berlaku untuk semua bentuk dari produk media secara keseluruhan, termasuk didalamnya reality show. Simak saja bagaimana bunuh diri dengan melompat dari ketinggian gedung menjadi trend akibat ekspos media secara intens. Kemudian tentang aksi kawin-cerai artis-artis Indonesia, yang berdampak pada meningkatnya pengaduan gugatan cerai yang masuk di Kantor Urusan Agama.
Reality show Indonesia pun telah mampu menciptakan beberapa konstruksi makna baru dalam konsep kehidupan sosial masyarakat kita. Dalam beberapa tayangan yang berlatar kemanusiaan. Masyarakat dari golongan bawah (miskin) selalu menjadi bahan olok-olok dari para kelas atas (kaya). Si kaya selalu diposisikan sebagai dewa penolong yang akan datang menjadi penyelamat atas penderitaan yang dialami oleh si miskin.
Simak saja acara Bedah Rumah yang ada di RCTI. Si kaya yang diwakilkan oleh tim Bedah Rumah melalui pembawa acaranya datang untuk memberikan bantuan yang sangan berarti berupa semacam rumah baru untuk si miskin. Diakhir acara, si miskin akan selalu mengucapkan terima kasih didalam linangan air mata. Tak jarang keluarga si miskin sampai rela bersujud di kaki pembawa acara untuk mengucapkan terima kasih.
Acara yang lebih dahsyat olok-oloknya bisa dicermati di acara Tukar Nasib (SCTV). Dalam acara ini, antara si kaya dan si miskin bertukar peran untuk beberapa hari. Dimana akan selalu hadir, bahwa si miskin akan tercengang, takjub, kagum sekaligus di buat semakin kampungan oleh presentasi si kaya melalui simbol-simbol seperti rumah yang megah, perabotan modern yang tidah pernah dilihat oleh si miskin sebelumnya. Sementara si kaya memandang negatif, bahkan jijik mengenai kehidupan si miskin. Lagi-lagi, orang kaya diposisikan/direpresentasikan sebagai kaum yang superior, sementra si miskin semakin terinjak-injak kedudukannya dalam strata sosial kehidupan bermasyarakat.
Dalam tayangan lain, yang terkait dengan cinta dan privasi, seringkali wanita mendapat posisi yang tidak menguntungkan dalam konstruksi makna oleh media. Wanita kerap kali diposisikan sebagai sumber dari masalah yang ada. Reality show tentang perselingkuhan sering kali memosisikan wanita/ibu-ibu sebagai biang kerok dan harus bertanggung jawab atas masalah yang terjadi.
Dilain sisi, media akan selalu mengambil peran sebagai pihak yang akan mampu memberi solusi untuk permasalahan yang ada. Peran malaikat penyelamat ini biasanya direpresentasikan melalui pembawa acara. Dan akan tercipta suasana dimana akan terjadi akhir yang indah (happy ending) karena bantuan dari orang lain tersebut.

Media Literacy, Mencardaskan Khalayak
Mengacu pada fenomena seperti yang dijelaskan diatas, sudah sangat banyak tulisan yang mengkritik gencarnya tayangan-tayangan semacam ini mengonstruksi pemahaman masyarakat. Kritik boleh saja mengalir dengan deras, namun semua itu akan menjadi mentah ketika terjawab oleh kalangan industri media dengan satu kata : rating. Dimana rating sendiri diterjemahkan oleh mereka sebagai representasi dari apa yang dikehendaki dan disukai oleh masyarakat.
Dikalangan profesional media sendiri rupanya telah terjadi dilema. Dimana mereka (pekerja profesional) harus membenturkan ideologi yang mereka miliki dengan kuasa kapital para pemilik modal. Disatu sisi, awak media berupaya untuk menghadirkan tayangan yang berkualitas dan mampu memberi edukasi pada masyarakat. Sementara di sisi yang lain para pemilik modal seolah tidak peduli dengan hal itu. Yang ada hanyalah bagaimana cara untuk meningkatkan rating dan menghasilkan uang yang banyak.
Ketika ideologi kapitalis dan industrialis telah menjadi akar yang kuat dan sulit untuk dicabut, tidak ada jalan lain untuk melakukan perlawanan selain memulai dari masyarakat itu sendiri. Wacana melek media (media literacy) menjadi alternatif yang kirnya mampu menjadi penangkis dari terpaan tayangan-tayangan televisi yang tidak mendidik.
Sebuah agenda yang sedang booming saat ini dalam rangka mencerdaskan khalayak dan menangkis dampak buruk televisi adalah media literacy (melek media). Media literacy saat ini merupakan cara paling efektif sebagai pengawal masyarakat dalam mengonsumsi media.
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan media literacy dan bagaimana pola penerapannya? Media literacy muncul di Inggris pada awal tahun 1930-an akibat dari keprihatinan sejumlah aktifis media atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh media. Media literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah melek media. James Potter mengatakan bahwa media literacy adalah sebuah perspektif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.
Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun menghibur. Begitu banyak definisi tentang media literacy, namun bisa disimpulkan bahwa intinya adalah mendidik masyarakat agar mampu menginterpretasi pesan yang disampaikan media secara benar dan bijak. Kampanye media literacy lebih ditekankan pada pemahaman kalayak (www.kidia.org)
Sebagai ilustrasi, di Australia pendidikan media literacy telah diperkenalkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional. The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait secara periodik.
Bagaimana dengan kampanye melek media di Indonesia? Data mencatat bahwa kampanye melek media telah dimulai pada awal tahun 80-an ketika muncul kesadaran dari banyak pihak akan dampak media terhadap pergeseran nilai-nlai sosial. Sampai saat ini, banyak yayasan non-profit yang bergerak dibidang edukasi media, diantaranya adalah KIDIA yang lebih berorientasi pada perlindungan anak terhadap efek media.
Sadar akan pentingnya media literacy berarti mampu menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi sesuai dengan usia dan kebutuhannya, dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya, dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi, serta dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.
Berbagai kegiatan untuk menyosialisasikan bahaya televisi juga sudah sering dilakukan. Puncaknya yaitu pada tahun 2007, para aktifis media literacy di Indonesia sepakat menetapkan tanggal 22 Juli sebagai hari tanpa TV.
Jenis pemahaman seperti diataslah yang merupakan goal utama dari agenda kampanye media literacy. Karena untuk saat ini, berharap pada stasiun TV untuk memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustail. Ada masalah rating, bisnis dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak-banyaknya (inti dari globalisasi media kapitalis). Maka pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilam media literacy atau melek media.
Dengan adanya pemahaman yang baik dari semua pihak sebagai khalayak media, dampak negatif yang tidak kita inginkan bisa teratasi. Media literacy dapat kita jadikan tameng terhadap terpaan era globalisasi yang seolah tiada batas ini, khususnya dalam kaitannya dengan arus informasi.

No comments: